Kamis, 28 Maret 2013

Cerpen Kumpulan : ” SEPIKU “ Cinta Pertamaku Kandas di Bukit Cadas

CERPEN ; MUHAMMAD NUR ( OKT ).
 Ilustrasi By : google

Kata mereka ditinggalkan adalah  suatu problema yang sangat fatal dan sungguh  menyakitkan aku bisa mengatakan itu betul karena aku sendiri yang mengalaminya.

Masih terbayang di bening mataku saat pertama kali bertemu dengang Cornelia yang akrab disapa Lou oleh teman dan kerabatnya, cewek manis, senyumnya tipis dengan lesung pipi,  ketika ada perhelatan akbar perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan di Kotaku. Saling tertarik, lirik-lirikan terpana busur asmara, jalan bersama selama sebulan tanpa rintangan,  mulus dan happy, hanya canda dan tawa riang  bahagia menemani kebersamaan ku, dunia seakan ikut bahagia menikmati cinta dan kasih sayang aku dan dia sampai lumat berpagut kedasar hati.

Malam minggu aku ada janji dengannya bertemu disebuah resto, jam 07.00 aku sudah menata diri dengan persiapan yang sangat matang, stelan Jeans model terbaru kepadupadankan dengan Kaos bermerek warna putih break pinjaman sahabatku, aku duduk di sudut menunggunya dengan harap-harap cemas.
Sedan Mercy  berhenti, 3 pengawal mengenakan Jacket kulit warna Hitam mengkilat turun, rambutnya cepak ala Micke Tyson, badannya berotot,  aku kira mereka itu adalah aparat karena terlihat jelas dibawah sinar neon salah satu dianatara mereka menggunkan celana loreng.

Aku terperanjat kaget bermacam tanya memenuhi rongga otak dan hatiku, perasaan mual membuncah dari perutku ketika 2 ( dua ) orang diantar mereka menuju kearahku, salah seorang menarik tanganku dengan paksa ”  Ada apa ya Om ” bisikku lirih sendu.
Dia menatapku dengan tatapan marah kulihat dari pancaran matanya.  ” Kamu ikut “. hardiknya setengah memaksa.

Aku dijebloskan kedalam sel sempit disebuah tahanan khusus pelaku tindak kejahatan,  sumpek dan apek ” rasakan akibatnya ” katanya tegas saat dia mendorongku masuk. Sebelum berlalu dia kembali menatapku dengan pandangan yang sulit kumengerti maknanya.
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi diluar, sejak itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Cornelia..
————OOOOO———-OOOOO——

Lou ini dukaku kukubarkan untukmu
Saat Ibu mendengar berita kalau aku di tahan,  malam itu  langsung bergegas menuju sel tahanan untuk menemuiku tapi dia dilarang masuk oleh Petugas jaga, tanpa basa-basi.
” pokoknya belum bisa saja ” tak ada alasan yang jelas mengapa aku ditahan, mengapa tak boleh ditemui.

Aku juga heran dan ber-tanya2 dalam hati , kesalahan apa yang telah ku perbuat sehingga aku diperlakukan seperti Pelaku tindak kriminal yang sangat berbahaya, dan perlu di waspadai, aku hanya seorang Pelajar SMA yang yatim sejak kanak-kanak, dan ditinggal mati oleh Ayah, seorang Tentara Nasional yang gugur  pada peperangan melawan Pemberontak di Sulawesi.
Seingatku aku tak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan maupun norma yang berlaku.

Sebagai Putra tunggal dan yatim, aku memperlakukan Ibuku bagai Dewa,  dan aku bangga pada Ibu yang selalu bersamaku baik dalam senang maupun susah.
Ibu sering mengatakan kepada teman-temannya bahwa aku adalah Anak baik, penurut, mudah diatur, pintar  serta mandiri “.

Lou, mengapa ini bisa terjadi  Lou, apakah karena aku mencintaimu ??!!!!!???!!!! Katakan Lou pada mereka bahwa aku tak bersalah, katakannn….biar aku bebas dan bertemu Ibuku secepat mungkin biar bisa kujelaskan duduk masalahnya, agar dia bisa tenang Lou.!!!

Tapi rintihanku tak pernah dijawab Oleh Lou, dia diam, bisu, senyap,  hilang ….
Saat Ibuku sudah kembali ke rumah, seorang Petugas menyerahkan bungkusan, kubuka isinya Sarung pelekat cap gajah warna putih garis-garis hitam, sebuah kopiah yang sudah lusuh warnanya Hitam kekuning-kuningan termakan usia, dan sebuah sejadah.

“. Pesan Ibu tersirat agar aku selalu berdoa dan melaksanakan sembahyang lima waktu walau dalaman  Kondisi apapun. Aku yakin itu “

Seperangkat Alat sholat ini adalah milik  Ayahku Alamarhum yang diwariskan padaku.
Hanya seperangkat Alat Sholat, bagiku nilainya seperti Emas atau berlian, kupakai setahun sekali hanya pada waktu Hari Raya Lebaran dan Idhul Adha, lebaran kemarin Usianya sudah 23 tahun, karena benda pusaka dibeli Ayahku saat melamar Ibu sebagai Mas Kawinnya 4 tahun sebelum aku lahir.

——OOOOO———–OOOOO—–

Aku baru saja merapikan sajadah dan kopiah, lalu kulipat diatas tas agar tak kotor , kedua benda ini walau wujudnya tak mempunyai nilai ekonimi seperti emas atau berlian namun bagiku benda ini adalah pusaka, hanya benda ini satu-satunya  peninggalan Ayah yang di wariskan padaku.
Juga  baru saja hendak melepaskan sarung plekat menggantinya  dengan celana sehabis Sholat subuh ketika tiba-tiba seorang Sipir membuka pintu sel dan berkata “  Kamu bebas hari ini, bersiaplah dan langsung pulang “

” Terima kasih Pak “ jawabku sekenanya.

Jantungku seakan melompat keluar dari tubuhku, perasaan suka-ria, kegembiraan itu tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Kukemasi barang-barangku, aku masukkan sarung plekat dan kopiah kedalam tas. Dan segera beranjak keluar dari tempat yang kusam itu, yang aku huni selama 3 hari dan 12 jam.

Aku lalu meraih tasku dan berjalan dengan cepat setengah berlari, rasanya aku tak ingin berbalik lagi untuk dapat melihat kebelakang, aku bersumpah tak akan pernah masuk lagi ketempat ini. Aku terus mengayun langkah dan berharap secepatnya menemui Ibu.
Dalam perjalanan aku terus membatin menyesali nasib yang tidak beruntung dicampakkan lalu ditinggalkan.

Setiba di rumah kudapati Pintu terkunci dan di gembok dari luar, sudah dapat di pastikan Ibu-ku sedang tak ada di rumah.

Gemuruh dada ini bergelora terasa isi perut membuncah mau muntah, mataku ber-kunang2 pikiran melayang-layang, aku  tersadar ketika tetangga samping rumah datang menghampiriku :
Ibumu di rumah sakit Nak, kami yang membawa-nya kesana 2 hari yang lalu
Kenapa Tante Ibu sakit apa ?? bagaimana keadaanya, sudah baik kan tante ?? kataku mencecar dengan beberapa pertanyaan.

Siapa yang menjaga Ibu disana Tante, Ibuku tante , Ibuku tente ” rentetan pertenyaan kuajaukan walau belum sempat terjawab satupun aku terus bertanya.

Sabar Nak, sabarrrr, sabar …keadaan Ibumu  baik-baik saja “  dia berusaha membujukku.
Betul tante,  terima kasih tante, Ibu di Rumah Sakit mana tante ?? “
” Rumah Sakit Umum di Kota nak ” jawabnya singkat matanya berkaca-kaca.
Melihat itu feling Aku  sebagai anak yang sangat dekat dan tergantung pada Ibu,  meyakini  ada sesuatu yang terjadi pada Ibuku.

Aku segera berangkat , aku mau sekarang tante ” jawabku meraih tasku dan berlalu.


Tiba di Rumah Sakit aku langsung turun dan berlari menuju ruang tempat Ibu di rawat,  kosong….melompong hanya kebaya warna coklat kembang yang di taruh seadanya diatas koper, kebaya itu sangat Aku kenal dan sering di kenakan Ibu karena menjadi pakaian kebanggaannya.
Aku jadi teringat beberapa bulan yang lalu ketika kebaya itu kuberikan pada Ibu sebagai hadiah pertama dari uang hasil jerih payahku sendiri, mencari jangkrik di sawah untuk di jual pada penjual ikan dan bur ung hias, hasilnya untuk membeli Kebaya ini.

Terima kasih Nak,  aku bangga padamu,  kebaya ini akan Ibu pakai kalau ada acara-acara khusus “dia mencium kebaya itu dan merangkulku.
Aku bersyukur, walau kau masih sekolah, tapi sudah bisa membelikan Ibu baju ” dia memegangi pipiku dengan kedua belah tangannya.
Iya Bu di pake Bu ya, nanti kalau aku sudah bekerja, aku berjanji akan membahagiakan Ibu, percayalah Bu, ya Bu ya ” aku mencium tangannya.
Sepeninggal Ibu nanti, apapun yang terjadi kamu harus terus Sekolah ” dia membelai rambutku.
Mau kemana Bu ? “
Tidak kemana-mana , kalau-kalau  Ibu pergi, he he he ” Ibu tertawa.
Terlepas dari lamunan-ku kulihat orang-orang di sekelilingku, tetanggaku yang datang menjenguk berwajah sedih ada sebagian yang  meneteskan air mata.
Ibuuuuuuu ..Ibuuuuu….Ibuuuuuu…dimana Ibuku….Oh Tuhannnn “  teriakku histeris.
Dunia tempatku berpijak seakan runtuh, porak-poranda,  kiamat kecil menyelimuti alam bawa sadarku,  bumi berputar hitam…..

—————00000———-OOOO——

Sudah aku ceritakan sebelumnya bahwa ayahku telah pergi meninggalkan kami karena tewas dalam medan laga sejak aku masih bayi, untuk selamanya aku tak pernah menatap wajahnya, menyentuh kulitnya, merasakan belainnya, entahlah ketika aku masih bayi, aku sendiri tak bisa mengingatnya.
Ayahku, ini menurut Ibu adalah seorang tentara yang sering ditugaskan di daerah-daerah yang sedang berkecamuk dan bergolak, seperit di Timtim dulu masih ingatkan ?  kata Ibu suatu hari ketika kudesak menanyakan tentang Ayah.
Aku pernah mendengar cerita dari seorang kerabat sepupu Ibu, waktu itu aku sudah duduk di bangku SMP, bahwa sebenarnya Ayahku tak meninggal seperti apa yang Ibu sering katakan. Ayah pulang ke Kampungnya di Jawa setelah tugasnya di Sulawesi berkahir, dia tak pernah pamit pada Ibumu  pergi begitu saja, meninggalkan tanggung jawabnya seorang isteri dan seorang anak yang masih balita. Berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun Ibumu menunggunya kembali, jangankan pulang kabarpun tak ada,  hilang di telan bumi.
” Menurut khabar yang Om terima Ayahmu telah menikah dengan gadis sepupunya di Jawa, anak tunggal pamannya yang kaya ”  kata Om itu dengan terbata-bata wajahnya kelihatan sedih.
Saat itu dunia menjadi gelap kilat sambar menyambar,  air mataku keluar deras membasahi bajuku, membasahi tubuhku, mengalir menelusup ke luka hati yang tergores, kuingin berteriak kutahan beralari pulang rasanya terbang diatas awan melayang, tanpa menghiraukan Om itu memanggilku, terus melayang dalam sekejap Aku sampai di rumah.
Kulihat Ibuku sedang menanak Nasi diatas tungku dari tanah liat, aku memburu dan memeluknya erat. Ibu menatapku heran mulutnya ingin menyapa, tapi tangisku air mataku membuatnya tak sanggup bicara, dalam pelukan kami berdua menangis**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar